Baru-baru ini seorang content creator yang sering ngebahas soal penalaran dan pola pikir ilmiah — Cania Citta — ngeluncurin buku pertamanya yang ditulis bareng Abigail Limuria bertajuk "Makanya, Mikir! Panduan Berpikir untuk Hidup Lebih Bahagia". Dan alhamdulillah aku berkesempatan untuk beli bukunya pas pre-order kemarin. Seusai baca buku ini aku dapet banyak banget insight yang menarik, bahkan ngerubah cara berpikirku atas beberapa hal.
Btw, ini pertama kalinya aku nyelesaiin buku 200 lebih halaman dalam sekali baca — mungkin ini yang dimaksud mba Nana "satu buku yang membuat kita jatuh cinta pada membaca". Mungkin ini karena gaya penulisan bukunya yang asyik dan casual disertai gambar ilustrasi dan grafis yang menarik yang bikin kita nggak bosan pas baca buku ini, padahal di beberapa pembahasannya bisa dibilang cukup berat dan bikin mikir keras. Dan kali ini aku bakal nge-review sekaligus sharing beberapa insight yang aku dapat pas baca buku ini.
Pertama-tama banget Cania dan Abby menekankan bahwa tools thinking framework (kerangka berpikir) yang akan dijelasin dalam buku ini berorientasi pada goals/tujuan yang menjadi fundamental thing yang digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Mereka juga nerangin bahwa goals itu nggak harus hal-hal yang besar kayak pengen jadi astronot, pengen kuliah di luar negeri atau mau kerja di perusahaan besar dengan gaji tiga digit. Hal-hal kecil seperti pengen beli gitar, pengen liburan ke gunung atau ke pantai juga merupakan goals, gitu.
Di sini, penulis juga ngejelasin pentingnya memiliki kemampuan memetakan informasi tentang rantai konsekuensi (cause and effect) — untuk lebih jelasnya bisa langsung baca bukunya aja — pada realita/kenyataan kita dengan akurat. Inilah yang disebut peta realitas. Sama kayak peta geografis, peta realitas adalah alat yang membantu kita untuk mencapai tujuan hidup kita. Makanya harus akurat, kalo nggak ya, bisa keliru arah tujuannya.
Tapi seakurat-akuratnya peta, juga harus dibarengi sama kemampuan ngebaca peta yang baik dan benar biar nggak tersesat, dalam hal ini ya kemampuan bernalar dengan benar atau "logis". Karena ya percuma dong kalo petanya udah bener tapi kita gak bisa baca petanya. Pun sebaliknya, sejago apa pun kita baca map — kemampuan bernalar kita udah bener — tapi kalo petanya salah, ya sama aja dong.
Selanjutnya, kita disuruh ngebedain antara "ranah realitas" dan "ranah preferensi" pada suatu informasi. Apa lagi itu semua? Intinya, informasi di ranah realitas bisa bernilai "benar atau salah", dengan "benar" berarti sesuai realitas, dan "salah" artinya tidak sesuai realitas yang bisa dicek di realitas/kenyataan. Sedangkan informasi di ranah preferensi nilainya bisa "baik/bagus" atau "buruk/jelek" berdasarkan acuan yang ditentukan suatu individu/kelompok. Atau bisa dibilang ranah realitas ini sifatnya objektif, sedangkan ranah preferensi sifatnya subjektif.
Pentingnya ngebedain dua hal ini tuh biar kita bisa dengan tepat ngambil kesimpulan berdasarkan sifat dari argumennya — apakah suatu argumen itu masuk ke ranah realitas atau preferensi — dan nggak kecampur. Ini tentu ngaruh banget ke cara kita ngambil keputusan dalam nentuin tujuan hidup. Kalian pasti pernah saat berdebat, topik yang kalian bahas jelas, tapi lama-lama perdebatan kalian jadi makin nggak jelas arahnya alias makin kusut, alhasil kalian jadi makin jauh dari tujuan. Nah, ini tuh bisa terjadi karena di tengah perdebatan kalian campurin antara ranah realitas dan preferensi.
Objective-oriented principle atau "prinsip berorientasi pada tujuan" yang dijelasin dalam buku ini ngebantu kita untuk menilai suatu keuntungan dan kerugian berdasarkan tujuan — itu sebabnya tujuan/goals jadi penting banget di awal. Kita juga bakal dikenalin sama kerangka berpikir yang disebut Cost-Benefit Analysis (CBA) untuk ngebantu kita ngitung keputusan mana yang ngehasilin benefit paling banyak dengan cost paling sedikit. Tentu saja ini menarik banget, karena kita semua pasti pernah dan akan terus berhadapan sama pilihan-pilihan sulit selama hidup.
CBA ini bisa ngatasin berbagai masalah mulai dari sesederhana mutusin liburan ke gunung atau ke pantai, milih kuliah dulu atau langsung kerja, sampai milih opsi-opsi yang lebih kompleks. Misalnya suatu ketika kita diterima interview dan lolos kerja di beberapa perusahaan dengan budaya kerja yang berbeda, jobdesk yang berbeda — ada jobdesk yang sesuai passion dan nggak sesuai passion — dan dengan gaji yang berbeda, dan kita harus milih salah satu yang terbaik. Pilihan-pilihan sulit kayak gini bisa teratasi dengan menggunakan CBA tadi. Buku ini juga ngasih beragam contoh yang dijamin bakal relate banget sama kehidupan day-to-day kita.
Hal penting lainnya yang perlu kita perhatiin adalah bias kognitif dan sesat pikir (logical fallacy) yang bisa ngaruh ke peta realitas kita dan bikin peta realitas kita jadi nggak akurat. Makanya dalam buku ini kita diajarin untuk mengidentifikasi berbagai macam bias kognitif dan sesat pikir, kita bakal diterangin apa definisinya dan disertai contoh-contoh yang relatable banget. Harapannya ketika kita udah paham dan bisa identifikasiin bias-biasnya dan jenis sesat pikirnya apa aja, kita bakal lebih bisa ngehindarin kesalahan-kesalahan berpikir dan akhirnya bisa ngambil keputusan dengan "cerdas".
Mungkin itu tadi beberapa hal yang aku bisa share ke kalian soal isi dari buku "Makanya, Mikir! Panduan Berpikir untuk Hidup Lebih Bahagia". Sebenarnya masih ada banyak prinsip, teori dan thinking framework lain yang dibahas dalam buku ini. Misalnya soal "Matriks Eisenhower" dan "Prinsip Pareto" yang bisa kita pake untuk nentuin prioritas. Ini bisa nyelesaiin masalah kita ketika misalnya kita punya banyak kerjaan dan lagi dikejar banyak banget deadline, kita bisa tahu mana yang harus dikerjain lebih dulu atau apa yang bisa kita lakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Di akhir buku ini juga dijelasin tentang "7 Rings of Relationship" yang mungkin bisa kalian pake sebagai landasan berpikir untuk nyelesaiin masalah kehidupan sosial kalian. Jadi, buku ini nggak hanya ngebahas pentingnya rasionalitas dan kecerdasan intelektual dalam mengambil keputusan untuk menjadi lebih dekat ke tujuan hidup kita aja, tapi buku ini juga ngejelasin bahwa kecerdasan sosial seperti penerapan empati itu juga sama pentingnya. Kalo kata penulisnya "buat apa pintar kalau nyebelin?".
Buku ini aku rekomendasiin banget untuk kalian baca, karena bakal banyak ngebantu banget untuk kehidupan kalian. Dari beberapa hal di atas aja udah bisa kita lihat, mulai dari ngebantu kita nentuin tujuan hidup, ngasih kita metode berpikir untuk ngitung benefit dari suatu keputusan, sampai nyelesaiin permasalahan kehidupan sosial. Setelah kalian baca buku ini, kalian pasti bakal bilang "Makanya, Mikir!" ke diri kalian sendiri.
Makanya.. Mikir!